DERMAYUPOS - Tanah kuburan Panguragan yang terletak di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Banyak kalangan dukun aliran sesat menggunakan tanah kuburan Panguragan sebagai media guna-guna untuk menghancurkan usaha seseorang. Benarkah…?
Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta
sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat
usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin
bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang
dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat
dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan,
rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan
mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk
guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah
kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan
pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup
tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas,
Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan
tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.
“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi
syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara
habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat
semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib
cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam
itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di
sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten
Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan
pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media
tanah kuburan Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi
kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan
manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika
diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya
tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang
ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada
keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa
Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong
pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir
kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh
negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang
melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang
orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di
bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya
mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.
Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah
kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang
malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami
Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu,
Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru”
Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun
dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin
Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008),
Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan
Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya
masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah
mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara
Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu
memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas.
Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa
teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin
hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras
dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan
kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut
dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad
Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada
Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar
baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar,
Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi,
anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat
populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula
menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan
pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios
yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke
kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah
sesuai dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak
wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet
dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga.
Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa
utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana
pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang
nakal itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan
keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah
Ujang dengan pandangan menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng,
bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru
Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi.
Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras
kios kue milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk
membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap
ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer
dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun
ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas
Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan,
Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk
di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan
serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum
jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap
lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana
temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan
pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas.
Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu.
Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan
sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang
disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas
setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai
merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai
arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk
alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.
Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju
ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal
beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak
gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi.
Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi
menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah
terkantuk-kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada
istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi
saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak
wirid.
Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris
tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah
bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada
ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa
menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian
dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya,
Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah
orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di
tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk
mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di
kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi
dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko
serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi
pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya
di ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun
pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang,
Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang
mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu.
Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak
tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di
atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun
pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut.
Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat
ganjil.
Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa
orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok
menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan
mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah
berdiri sesosok mayat hidup alias pocong.
Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang,
Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam
penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh
borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari
lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke
arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak
mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak
pingsan.
Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga
Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia
duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk.
Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah
mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang
gagu.
Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung.
Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya
ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk
itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau
tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda
itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan
yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi
menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin
hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat
nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu
yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan
mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya
dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat
tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu!
Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.
Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu.
Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus
menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau
sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar
mandi.
Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi
seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang
tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa
tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak
keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan
Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan,
naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H.
Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar
kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan
suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut
mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam
bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang
yang telah mengguna-gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah
kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh
Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi
terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan
dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) bagian driver.
No comments:
Write comment